MENJEMPUTMU
DI PONCOL ADALAH MIMPI BAGIKU
oleh:
Rezky Bagus Pambudiarso,
S.Pd.
Larezza125@gmail.com || SMAN 1 Karangtengah
Hari
ini tepat tanggal 27 Januari 2018 dan jam di dinding menunjukkan pukul 12.00.
Kiki, seorang guru honorer di salah satu sekolah negeri di Demak dengan rambut
agak klimis dan pakaian yang necis, bersiap untuk menjemput Lala, seorang
apoteker cantik yang nanti akan jadi pendamping hidupnya dan kini ia bekerja di
kota Tegal.
Sebulan
yang lalu di Stasiun Poncol, sembari menunggu kereta Kaligung, Lala berpesan
agar Kiki menjemputnya tanggal 27 Januari 2018 pukul 14.30. Kiki pun mengangguk
dan mengiyakan omongan Lala. “Tapi ingat, jangan telat! Pokoknya aku enggak mau
kamu telat. Kalo telat, aku bakal ngambek!” Tambah Lala. Sambil tersenyum, Kiki
pun kembali mengangguk seraya memberi isyarat jikalau ia tidak akan terlambat.
Sesaat
setelah memandangi jam yang tergantung di dinding itu, Kiki pun bergegas mandi.
Selesai mandi dan mengeringkan tubuhnya, dipakainya kaos coklat bergambar One Piece dan celana jeans “Cardinal”
yang sudah ia siapkan. Tak lupa, disemprotkannya parfum bertuliskan “Belagio”
hingga seluruh ruangan pun kini ikut tercium wangi.
“Hmmmmm,
wangi betul aroma parfum ini. Pasti Lala bakal suka Hehehehe.” pikirnya sambil
tersenyum sendiri.
Mencium
bau wangi parfum Kiki, ibunya pun langsung bertanya, “Mau kemana kamu, Ki?”
“Biasa
to, Bu. Aku mau jemput calon menantumu. Hehehehe” jawab Kiki dengan nada
bercanda.
Mendengar
jawaban Kiki, sang ibu cuma bisa tersenyum. “Makan dulu gih, biar ndak
kelaparan pas di jalan.” pinta ibu. Namun, Kiki menolak dengan alasan “sudah
mepet waktunya”. Sang ibu pun hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.
Setelah
siap, Kiki pun segera mengambil kunci dan helm yang ditaruhnya di atas lemari. Secepat
kilat, Ia menuju motor hitamnya yang terparkir di depan. Ia pun segera menaiki
dan menstarter motor itu. Namun sayang, motornya tak kunjung menyala.
“Sial,
malah enggak nyala-nyala.” gerutunya.
Dengan
lagak bak montir profesional, Kiki pun mencoba mengamati kondisi mesin motornya.
Dengan beribu metode yang diketahui, ia pun mencoba untuk memperbaiki motor
itu. Meski metode yang ia tahu cuma “copot busi abis itu dipasang lagi”, tetapi
metode itu terbukti selalu ampuh untuk membuat mesin si hitam menyala. Setelah
15 menit mengotak-atik “mesin” motornya, akhirnya Kiki pun bisa berangkat. Tak
lupa ia meminta izin kepada orang tuanya.
Saat
berangkat, jam berwarna emas di tangan Kiki menunjukkan pukul 13.30. “Tenang!!
Masih banyak waktu, Ki!” ujarnya dalam hati. Biasanya Kiki butuh waktu 50 menit
untuk sampai ke Poncol dengan kecepatan normal. Ia pun mengendarai motornya
menyusuri jalan Demak-Semarang dengan kecepatan 60 km/jam. Namun sial, saat ia
sudah melewati Pasar Sayung, ia melihat kondisi lalu lintas yang mulai padat
dan macet.
“Cobaan
apa lagi ini.” batinnya dalam hati.
Kiki
pun mencoba bersikap tenang. Melihat hamparan kendaraan yang tak bergerak itu, ia
pun mencoba untuk mencari jalan pintas. Digebernya si motor melewati jalan
tanah yang becek karena hujan semalaman. Dengan gesit ia melewati jalan itu. Bahkan,
ia pun tanpa rasa takut berkendara diantara dua truk besar yang berjalan pelan.
Empat
puluh lima menit pun sudah berlalu sejak ia berangkat dan kini Kiki masih
berada di perbatasan Demak. Kondisi jalanan pun tidak kunjung lancar bahkan
semakin macet. Saat ia berada di trafficlight
Genuk, tiba-tiba ia
diminta berhenti oleh seorang laki-laki berompi hijau dengan nama
Hendra di bagian dada sebelah kanannya. Kiki pun segera menepikan motornya dan
bertanya-tanya mengapa ia dihentikan.
“Selamat siang, Bapak. Maaf mengganggu
kenyamanannya.
Sebelumnya saya ingin bertanya.
Bapak hendak kemana ya?” tanya Pak
Hendra.
“Ke
Stasiun Poncol, Pak. Pripun, Pak?” Jawab Kiki
Pak
Hendra pun menginformasikan
jika jalan Kaligawe sedang tergenang banjir dan cukup dalam. Jika Kiki nekat
melewati jalan itu,
ada kemungkinan mesin motornya akan mati. Pak Hendra juga
menyarankan kepada Kiki untuk memilih jalan memutar melewati Jalan Wolter Monginsidi.
“Terimakasih,
Pak.” ucap Kiki.
Dengan
berat hati, Kiki pun mengikuti saran Pak Hendra dan membelokkan motornya menuju
Jalan Wolter Monginsidi. Karena waktunya semakin
mepet dan jalan yang ditempuh semakin jauh, Kiki pun memutuskan untuk menambah keceepatan motornya.
Saat
sedang fokus menggeber motornya,
Kiki merasa ada
yang aneh
dengan motornya. Laju si motor tidak stabil dan jalannya terseok-seok. Kiki pun segera
menepikan motornya di
dekat Perumahan Ganesha. Ia langsung mengecek kondisi si motor. Diamatinya satu persatu
bagian motor itu. “Sial, ban motorku bocor” omongnya. “Padahal sebentar lagi
jam seengah tiga.”
tambah omongan Kiki.
Kiki
pun bergegas
menuntun motor hitamnya untuk mencari bengkel terdekat. Ia pun menuntun
motornya cukup jauh hingga akhirnya menemukan kios
tambal ban sebelum trafficlight jalan
arteri Soekarno-Hatta. Kiki pun mendorong motornya secepat mungkin menuju tukang tambal
ban dan segera memintanya
untuk mengganti ban motornya.
“Pak,
tolong ganti bannya
nggih! Bannya bocor.”
pinta Kiki ke tukang tambal Ban.
“Siap,
Mas. Silahkan duduk dulu di sana, Mas.”
Sembari menunggu motornya diperbaiki,
Kiki pun mencoba mengabari Lala. Diambilnya handphone
yang ada di dalam tas. Dicarinya nomor kontak Lala. Setelah ketemu, Kiki
pun langsung menelpon Lala. “Tuttt….tuutttt….tuuttt…” Begitulah suara yang
terdengar dari hp Kiki. Beberapa kali ia mencoba menelpon, tetapi selalu bunyi
itu yang didengar.
“Kok, ndak diangkat sih telponnya.” gerutu Kiki.
Kiki pun tak kehabisan akal. Ia pun mencoba
untuk mengirimkan pesan lewat WhatsApp
nya. “Dek, ini
jalananne macet. Kaligawe katanya banjir makanya aku lewat Genuk. Ini motorku
bannya malah bocor. Maaf ya aku jemput kamu agak telat.” Isi pesan Kiki.
Pesan itu segera dikirim ke Lala. Namun, hanya gambar single-checklist yang didapati di pojok
kanan bawah private chat yang
dikirimkan Kiki.
“Kok cuma centang satu sih. Apa Lala marah ya?” Pikirku
Setelah
lima belas menit menunggu,
akhirnya
ban motor pun
selesai diganti. Dipacunya segera motor itu secepat kilat menuju Poncol.
Di tengah jalan saat melewati taman Bubakan, tampak ada kerumunan orang di
pinggir jalan dengan dua orang yang sedang dilerai. Terlihat ada dua motor yang
masih tergeletak di tengah jalan. “Sepertinya barusan ada yang senggolan motor.”
batinnya. Namun, Kiki tak mempedulikan hal itu dan langsung tancap gas menuju
Poncol. Dalam pikirannya hanya ada kalimat “ia harus segera sampai ke stasiun
Poncol”.
Saat
jarum jam di tangan Kiki sudah menunjuk angkat tiga, sebenarnya ia sudah sampai di Pasar Johar. Namun,
perjalanannya harus terhenti sejenak oleh lampu merah trafficlight. Ditunggunya lampu trafficlight
itu
dengan rasa tidak sabar.
“Kok
tumben banget sih lampu merah di sini lama banget!” batinnya.
Saat lampu sudah berganti warna, Kiki pun kembali dibuat jengkel karena
angkot di depannya yang tak kunjung bergerak. Angkot itu malah “ngetem” mencari
penumpang. Diklaksonnya angkot itu terus-terusan.
Saat angkot itu sudah berjalan, segera motor itu digebernya menuju jalan
Imam Bonjol. Perjalanan Kiki pun kembali terhenti oleh trafficlight yang ada di depan Statiun
Poncol.
Saat
terhenti di trafficlight, Kiki pun segera menyalakan lampu
sein kanan motornya. Saat lampu trafficlight
telah berganti menjadi warna hijau,
Kiki pun segera melajukan motornya
dengan perlahan. Dibelokannya motor itu menuju pintu masuk stasiun.
Sesaat setelah masuk ke dalam stasiun, Kiki pun bergegas mencari tempat
untuk memarkirkan motornya. Dilihatnya sekeliling dan akhirnya ia pun
memutuskan untuk memarkirkan motornya di dekat tang bendera.
Setelah
memarkirkan motornya, Kiki pun langsung berlari menuju peron. Di peron tampak banyak
orang yang duduk santai
untuk menunggu kerabat ataupun kereta mereka. Kiki pun tampak seperti orang
hilang karena kebingungan mencari Lala. Ia
berjalan kesana sini tetapi tetap saja tak dapat menemukan Lala. “Apa Lala sudah pulang,
ya?” tanya Kiki dalam hati. “Ah, ndak mungkin. Pasti Lala masih di sekitar sini.”
tambahnya sembari mencari Lala.
Setelah
beberapa saat
mencari, akhirnya Kiki pun bisa menemukan Lala. Ternyata Ia duduk diam di depan ruang costomer servise. Lala sebenarnya sudah
melihat Kiki dari tadi namun
ia tidak peduli karena ia merasa sebal karena Kiki datang terlambat.
Kiki
pun segera menghampiri Lala. Saat Kiki sudah berdiri di hadapan Lala. Lala pun berpura-pura
tak melihat Kiki dan lebih memilih asik bermain handphone nya.
Kiki yang merasa dicuekin akhirnya menyapa Lala.
“Dek.”
“Apa!!
Ini jam berapa? Kemarin kan aku udah bilang. Jemput aku jam setengah tiga.
Malah sampe jam setengah empat gini. Capek tahu nunggu gini. Mending tadi
aku pulang sama papa”
Mendengar ucapan Lala
yang seperti itu,
Kiki pun terdiam sejenak. Setelah
dirasa agak tenang,
Kiki pun mencoba menjelaskan kepada Lala mengapa ia terlambat. Kiki pun meminta
maaf kepada Lala atas keterlambatannya itu.
“Eo gitu berangkate diawalin lagi kan bisa. Biar enggak
telat kayak gini.
Kalo aku tadi pulang duluan
gimana? Emang kamu mau? Palingan yo kamu
marah.” Ucap Lala yang masih merasa sebal.
Melihat
sikap Lala yang seperti itu, Kiki pun cuma bisa tersenyum. Lala pun tambah jengkel melihat sikap
Kiki yang tersenyum kepadanya. “Apa
senyum-senyum. Ada yang lucu apa.” Kata Lala. Saking jengkelnya, Lala pun refleks menginjak kaki Kiki. Karena
begitu kerasnya injakan kaki Lala, Kiki pun berteriak mengaduh hingga ia terjatuh dari ranjang.
“Bruuuukkkkkkkk!!!!!!!!!”
Kiki
pun kaget dengan apa yang terjadi. Ia pun langsung terbangun. Ternyata saat itu Kiki sedang tidur
dan apa yang dialaminya hanya mimpi. “Duh, ternyata cuma mimpi.” Ucapnya.
Beberapa
saat kemudian, Kiki pun mengambil
hp yang ditaruhnya di meja. Dibacanya pesan Whatsapp
yang ada di situ.
“Mas, jangan lupa kamu punya janji jemput aku hari ini jam setengah
tiga. Jangan lupa dan jangan terlambat.”
Segera setelah membaca pesan itu, dilihatnya jam yang ada di pojok kanan
atas handphone nya. Betapa kagetnya
dia saat mengetahui jam sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Kiki pun
segera bersiap-siap untuk pergi menjemput Lala di Stasiun Poncol.
== THE
END ==
No comments:
Post a Comment